BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan umat Islam, dalam satu minggu terdapat satu hari dimana orang Islam laki-laki diwajibkan untuk menjalankan shalat berjama’ah di mesjid yaitu pada hari Jum’at. Oleh sebab itu, penyusun mencoba memaparkan masalah tentang shalat Jum’at dan tata caranya.
Tak bisa dipungkiri, setiap yang bernyawa pasti mati. Kita sebagai muslim yang taat mempunyai kewajiban untuk mengurus jenazah saudara kita seperti yang diajarkan oleh Nabi SAW. Di makalah ini penyusun mencoba menjelaskan tentang kewajiban kita mengurus jenazah dan tata caranya.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dipakai oleh penyusun adalah:
1. Shalat Jum’at :
a. pengertian shalat Jum’at,
b. hukum shalat Jum’at dan dasar hukumnya,
c. syarat-syarat mendirikan shalat Jum’at,
d. sunnat Jum’at,
e. khutbah Jum’at.
2. Penyelenggaran jenazah :
a. memandikan mayit,
b. mengkafani mayat,
c. shalat jenazah,
d. menguburkan mayit.
BAB II
PERMBAHASAN
A. Shalat Jum’at
1. Pengertian Shalat Jum’at
Shalat Jum’at adalah shalat fardhu dua rakaat yang dikerjakan pada waktu Zhuhur sesudah dua khutbah. Orang yang telah mengerjakan shalat jum’at, tidak diwajibkan mengerjakah shalat Zhuhur lagi.[1]
2. Hukum Shalat Jum’at dan Dasar Hukumnya
Shalat Jum’at hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap muslim yang mukallaf, laki-laki, merdeka, sehat, dan bukan musafir serta dikerjakan secara berjama’ah. Sebagaimana firman Allah SWT:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ ﴿٢﴾
Artinya : Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Al-Jumu’ah: 9)[2]
رُوَاحُ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ (متفق اليه)
Arinya : Pergi (ke tempat shalat) jum’at itu wajib atas tiap-tiap orang yang telah dewasa.
Ada empat golongan yang tidak dikenakan kewajiban melakukan shalat Jum’at yaitu : hamba sahaya, perempuan, anak-anak dan orang sakit. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya :
الْجُمُعَةِ وَاجِبَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ اِلاَّ عَلَى اَرْبَعَةٍ عَبْدٍ مَمْلُوْكٍ وَامْرَاَةٍ وَصَبِيٍّ وَمَرِيْضٍ (رواه ابوا داود)
Artinya : Shalat Jum’at itu wajib atas setiap muslim, kecuali 4 golongan yaitu hamba sahaya, perempuan, anak-anak dan orang sakit. (H.R Abu Daud)[3]
Selain itu hal-hal yang merupakan uzur jama’ah, juga dipandang sebagai uzur dalam melaksanakan shalat Jum’at.
Orang tua bangka dan orang lumpuh, tetap wajib melakukan shalat Jum’at jika mereka mendapatkan pengangkutan, walaupun dengan menyewa ataupun meminjam. Begitu juga dengan orang buta juga tetap wajib melakukan shalat Jum’at bila ia dapat berjalan sendiri tanpa kesulitan atau ada orang yang menuntunnya, sekalipun dengan upah.
Dan bagi orang yang mampu mengerjakannya kemudian ia tinggalkan maka akan dicap sebagai orang yang munafik, Nabi bersabda :
مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا طَبَعَ اللهُ عَلَى قُلُوْبِهِمْ (رواه ابوا داود والترمليذى)
Artinya : Barang siapa meninggalkan shalat Jum’at tiga kali karena menganggapnya enteng, niscaya Allah akan menutup mata hatinya. (H.R. Abu Daud dan Tirmidzy)[4]
3. Syarat-Syarat Mendirikan Shalat Jum’at
Untuk sahnya melakukan shalat Jum’at harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. diadakan dilingkungan bangunan tempat tinggal tetap (wathan);
b. dilakukan dengan berjama’ah tidak boleh kurang dari 40 orang;
c. dilakukan pada waktu Zhuhur, dalilnya adalah :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يٌصَلِّى الْجُمُعَةَ حِيْنَ تَزُوْلُ الشَّمْسِ (رواه بخارى)
Artinya : Rasulullah SAW melaksanakan shalat Jum’at ketika matahari tergelincir. (H.R. Bukhari).
كُنَّا نُصَلِِّى مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْجُمُعِةَ اِذَا زَالَتِ الشَّمْسِ ثُمَّ نَرْجِعُ فَنَتْبَعُ الْفَيْءَ اَيْ ظِلَّ الحيطان
Artinya : Kami shalat dengan Rasulullah SAW ketika matahari tergelincir, kemudian kami pulang dengan mengikuti bayang-bayang tembok. (H.R. Muslim).
d. dua khutbah sebelum shalat;
Keharusan khutbah pada shalat Jum’at itu dapat diketahui dari hadits Jabir Ibn Samurah ra:
اَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ خُطْبَتَيْنِ يَجْلِسُ بَيْنَهُمَا وَكَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا
Artinya : Bahwasanya Rasulullah SAW selalu berkhutbah dua kali pada hari Jum’at, duduk di antara keduanya, dan ketika berkhutbah dengan berdiri.
4. Sunnat Jum’at
Sunnat-sunnat Jum’at antara lain:
a. mandi;
Orang yang akan melakukan shalat Jum’at disunnahkan mandi sesuai dengan anjuran Nabi SAW dalam haditsnya :
اِذَا اَتَى اَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ
Artinya : Apabila seseorang kamu akan mendatangi shalat Jum’at maka hendaklah ia mandi. (H.R. Syaikhani).
مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنعمت وَمَنِ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ اَفْضَلُ
Arinya : Barang siapa berwudhu’ pada hari Jum;at maka itu sudah baik, namun siapa yang mandi maka itu lebih baik.
b. membersihkan tubuh dari segala bau yang tidak enak:
c. memotong kuku dan kumis;
d. memakai pakaian yang terbaik (terutama yang putih);
e. memakai wangi-wangian;
f. berdiam diri sambil mendengarkan khutbah.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berkata-kata pada waktu imam menyampaikan khutbah, Imam Malik dan Abu Hanifah mengatakan hukumnya haram berdasarkan :
b. ayat Al-Qur’an :
#sŒÎ)ur �˜Ì�è% ãb#uäö�à)ø9$# (#qãèÏJtGó™$$sù ¼çms9 (#qçFÅÁRr&ur öNä3ª=yès9 tbqçHxqö�è? ÇËÉÍÈ
Artinya : Dan apabila dibacakan Al-Qur’an maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang. (Al-A’raf: 204)
2. Hadits :
اِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاْلاِمَامُ يَخْطُبُ اَنْصِتْ فَقَدْ لَغَوْتَ
Artinya : Bila engkau mengatakan ‘diamlah’ kepada temanmu di hari Jum’at, ketika imam sedang berkhutbah, maka sesungguhnya engkau telah berbuat sia-sia. (H.R. Bukhari).
Sedangkan Imam Syafi’I dalam Qawl Jadid-nya berpendapat bahwa berdiam diri itu adalah sunnah dan tidak haram berkata-kata pada saat khutbah berlangsung.
5. Khutbah Jum’at
Shalat Jum’at ialah perkataan yang mengandung mau’izhah dan tuntunan ibadah yang diucapkan oleh khatib dengan syarat yang telah ditentukan syara’ dan menjadi rukun untuk memberikan pengertian para hadirin, menurut rukun dari shalat Jum’at.
Khutbah Jum’at terbagi menjadi dua yang antara keduanya diadakan waktu istirahat yang pendek dan khutbah ini dilakukan sebelum shalat.[5]
Adapun syarat-syarat dua khutbah Jum’at ada tiga belas.
a. Yang berkhutbah harus laki-laki.
b. Yang berkhutbah bukan orang yang tuli, yang tidak dapat mendengar sama sekali.
c. Khutbah harus dilakukan dalam bangunan yang digunakan shalat Jum’at.
d. Suci dari hadas besar dan hadas kecil.
e. Badan, pakaian dan tempat khatib harus suci dari najis.
f. Menutup aurat.
g. Berdiri di waktu melakukan khutbah itu bagi yang berkuasa.
h. Duduk antara dua khutbah dengan istirahat yang pendek.
i. Berturut-turut antara kedua khutbah itu dengan shalat.
j. Berturut-turut antara kedua khutbah itu dengan shalat.
k. Suaranya keras sehingga dapat didengar oleh paling sedikit 40 orang pengunjung mesjid.
l. Khutbah dilakukan di waktu Zhuhur.
m. Rukun-rukun khutbah itu harus dengan bahasa Arab.[6]
Adapun rukun-rukun khutbah Jum’at ada 6.
a. Memuji Allah pada tiap-tiap permulaan dua khutbah, sekurang-kurangnya membaca hamdalah.
b. Mengucapkan shalawat atas Rasulullah SAW dalam kedua khutbah itu, sekurang-kurangnya, وَالصَّلاَةُ عَلَى الرَّسُوْلِ , artinya “Dan shalawat atas Rasulullah SAW”.
c. Membaca syahadatain (dua kalimat syahadat).
d. Berwasiat dengan taqwallah, yakni menganjurkan agar taqwa kepada Allah pada tiap-tiap khutbah, sekurang-kurangnya اِتََّّقََُوااللهَartinya takutlah kamu kepada Allah.
e. Membaca ayat Al-Qur’an barang seayat di salah satu kedua khutbah itu dan lebih utama di dalam khutbah yang pertama.
f. Memohonkan ampunan bagi kaum muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat.[7]
Adapun sunat-sunat khutbah Jum’at antara lain.
a. Khatib berdiri di atas mimbar atau tempat yang tinggi.
b. Memberi salam kepada hadirin dan menghadap kepada yang hadir.
c. Khatib berpegang sebuah tongkat atau panah dan atau yang serupa dengan itu.
d. Duduk istirahat sejenak sesudah mengucapkan salam.
e. Hendaklah fasih dan keras suaranya, agar yang mendengarkannya paham akan kata-kata yang diucapkan.
f. Hendaklah khutbah itu lebih pendek dari shalat.
g. Khutbah hendaknya disudahi dengan permohonan ampunan kepada Allah, dan yang lebih pada khutbah kedua.
h. Supaya jangan ada seorangpun yang berkata-kata ketika khutbah sedang dibaca.
i. Supaya khatib masuk ke mesjid ketika khutbah akan dimulai dan gugurlah dari padanya sunat tahyat mesjid.
j. Membaca surat Al-Ikhlas di waktu duduk antara dua khutbah.[8]
B. Penyelenggaraan Jenazah
Kewajiban muslimin terhadap saudara-saudaranya yang meninggal dunia ada 4 perkara, yaitu :
a. memandikannya,
b. mengkafaninya,
c. menshalatkannya,
d. menguburkannya.
1. Memandikan Mayit
a. Syarat-syarat mayit yang dimandikan
1. Mayit itu seorang Islam.
2. Ada tubuhnya walau sedikit.
3. Meninggal bukan karena mati syahid.
b. Cara-cara memandikan mayit
Cara memandikan mayit yang perlu diperhatikan sebagai berikut. Pertama-tama dibersihkan terlebih dahulu segala najis yang ada pada badannya. Kemudian meratakan air ke seluruh tubuhnya dan sebaik-baiknya 3 kali atau lebih jika dianggap perlu. Siraman yang pertama dibersihkan dengan sabun, yang kedua dengan air bersih dan yang ketiga dengan air yang bercampur dengan kapur barus.
Beberapa riwayat yang shahih, Nabi SAW bersabda sebagai berikut : “Mulailah oleh kamu dengan bagian badan sebelah kan dan anggota wudhu’nya”.
Sabda Nabi SAW selanjutnya :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسِ اَنَّ النِّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِى الَّذِى سَقَطَ عَنْ رَاحِلَتِهِ فَمَاتَ اِغْسِلُوْهَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ (رواه بخارى ومسلم(
“Dari Ibnu Annas ra berkata, bersabda Rasulullah SAW perihal orang yang meninggal dunia jatuh dari atas ontanya : “Mandikanlah dia dengan air dan dengan sidir (bidara)”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
c. Mayat yang haram dimandikan
1. Orang mati syahid yaitu orang yang mati di medan perang untuk menegakkan / membela agama Allah dan mayat ini haram pula untuk dishalatkan.
2. Orang kafir dan munafik.
Kafir ialah orang yang terang-terangan mengingkari ajaran Islam, sedang munafik adalah orang yang lahirnya beragama Islam tetapi batinnya memusuhi Islam. Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an :
Ÿwur Èe@|Áè? #’n?tã 7‰tnr& Nåk÷]ÏiB |N$¨B #Y‰t/r& Ÿwur öNà)s? 4’n?tã ÿ¾ÍnÎŽö9s% ( öNåk¨XÎ) (#rã�xÿx. «!$$Î/ ¾Ï&Î!qß™u‘ur (#qè?$tBur öNèdur šcqà)Å¡»sù ÇÑÍÈ
Artinya : “Dan janganlah sekali-kali engkau melakukan shalat atas seorang di antara mereka (kafir dan munafiq) yang mati”. (Q.S. At-Taubah: 84)[9]
d. Mati bunuh diri
Pendapat para ulama, orang yang meninggal karena bunuh diri, tidak melakukan shalat atasnya, melainkan cukuplah dikuburkan saja mayatnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW :
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : اُتِيَ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ (رواه مسلم وابو داود)
Artinya : “Dari Jabir bin Samurah ra, berkata ia : pernah didatangkan kepada Nabi SAW seorang laki-laki yang mati karena membunuh diri dengan anak panahnya. Maka tidak dilakukan shalat atasnya oleh Rasulullah. (H.R. Muslim dan Abu Daud)
e. Aturan memandikan mayat.
1. Mayat laki-laki dimandikan oleh laki-laki dan sebaliknya mayat wanita dimandikan pula oleh wanita, kecuali muhrimnya laki-laki diperbolehkan.
2. Sebaiknya orang yang memandikan keluarga yang terdekat.
3. Suami boleh memandikan istrinya dan sebaliknya.
4. Yang memandikan tidak boleh menceritakan tentang cacat tubuh mayat itu andai kata ia bercacat.
2. Mengkafani Mayat
Setelah mayat dimandikan dengan cukup sempurna, maka fardhu kifayah bagi tiap-tiap orang yang hidup mengkafaninya. Mengkafani mayat sedikitnya dengan selapis kain yang dapat menutup seluruh tubuhnya.
Disunatkan bagi mayat laki-laki dikafani sampai 3 lapis kain, tiap-tiap lapis dari kafan itu hendaknya dapat menutupi seluruh tubuhnya. Mayat laki-laki menggunakan lima lapis kain, maka sesudah 3 lapis ditambah dengan baju kurung dan sorban.
Mayat wanita disunatkan lima lapis masing-masing berupa sarung, baju, kerudung, dan dua lapis yang menutup seluruh tubuhnya.
Kain yang disunatkan untuk kain kafan ialah kain yang halal dipakainya sewaktu hidupnya dan disunatkan dengan kain yang berwarna putih dan baru pula, serta diberi wangi-wangian.
Nabi bersabda :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ النِّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اَلْبِسُوْا مِنْ ثِيَابِكُمُ البَيْضَا فَاِنَّهَا مِنْ خَيْرٍ ثِيَاِبكُمْ وَكَفِّنُوْا فِيْهَا مَوْتِكُمْ
Artinya : Dari Ibnu ‘Abbas ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : “Pakaian diantara kainmu yang putih adalah sebaik-baik kain, dan kafanilah mayitmu dengan kain yang putih”.
Kalau kain putih tidak ada, maka boleh mengkafani mayit dengan kain apa saja yang dapat digunakan untuk mengkafaninya, kemudian dishalatkannya.
3. Shalat Jenazah
a. Syarat-syarat shalat jenazah
1. Shalat mayit/jenazah seperti halnya dengan shalat yang lain, yaitu harus menutup aurat, suci dari hadats besar dan kecil, bersih badan, pakaian dan tempatnya serta menghadap kiblat.[10]
2. Mayit sudah dimandikan dan dikafani.
3. Letak mayit disebelah kiblat orang yang menyembahyangkan kecuali kalau shalat yang dilakukan di atas kubur atau shalat gaib.
b. Rukun shalat mayit
1. Niat.
2. Berdiri bagi yang kuasa (kuat).
3. Takbir empat kali.
4. Membaca fatihah.
5. Membaca shalawat atas Nabi.
6. Mendoakan mayit
7. Memberi salam
c. Cara mengerjakan shalat mayit
Shalat jenazah dapat dilakukan di atas seorang mayit atau beberapa orang mayit sekalipun.
Seorang mayit boleh pula dilakukan berulang kali shalat. Misalnya mayit sudah dishalatkan oleh sebagian orang, kemudian datanglah beberapa orang lagi untuk menyalatkannya dan seterusnya.
Jika shalat dilakukan berjamaah, maka imam berdiri menghadap kiblat, sedang ma’mum berbaris di belakangnya. Mayit diletakkan dengan melintang dihadapan imam dan kepalanya di sebelah kanan imam. Jika mayit laki-laki hendaknya imam berdiri menghadap dekat kepalanya, dan jika mayit wanita, imam menghadap dekat perutnya.
Shalat jenazah tidak dengan ruku dan sujud serta tidak dengan adzan dan iqamat.
Rukun-rukun sembahyang yaitu :
1. niat;
2. berdiri;
3. takbir empat kali;
4. membaca surah al-Fatihah;
5. membaca shalawat atas nabi, sekurang-kurangnya اَللَّهُمَّ صَلِّى عَلَى مُحَمَّدٍ;
6. membaca do’a;
7. salam.[11]
4. Menguburkan mayit
Dalam mengubur mayit perlu diperhatikan :
1. pembuatan liang kubur sekurang-kurangnya jangan sampai bau busuk mayit keluar, dan jangan sampai dibongkar oleh binatang;
2. wajib membaringkan mayit di atas lambung kanan;
3. menghadapkan muka ke kiblat, muka dan ujung kaki jenazah itu harus mengenai tanah dan perlu dilepaskan kain kafan yang membalut muka dan telapak kakinya serta melepaskan semua ikatan tali-tali pada tubuh jenazah itu;
4. mengubur mayat itu tidak diperbolehkan pada waktu malam, kecuali dalam keadaan darurat.
Penjelasan tentang liang lahat.
1. Liang lahat ialah liang yang digali serong ke kiblat, yang mana liang tersebut kira-kira dapat memuat mayat kemudian ditutup dengan papan atau bambu.
2. Jika tanah yang digunakan untuk mengubur mayat itu mudah runtuh karena bercampur pasir, maka lebih baik dibuat lubang tengah : yaitu lubang kecil di tengah-tengah kubur, kira-kira dapat membuat mayat itu saja kemudian ditutup dengan papan atau sebagainya.
3. Kubur itu perlu ditinggikan sedikit tanahnya dengan bentuk mendatar. Tidak usah didirikan di atasnya sesuatu bangunan dan tak usah dikapur, karena kedua hal itu makruh.
4. Tidak boleh dua jenazah atau lebih dikubur dalam satu lubang kubur, kecuali karena dalam keadaan darurat.
5. Diwaktu mayat diturunkan keliang kubur disunatkan membaca :
بِسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُوْلِ اللهِ
Artinya : “Dengan nama Allah dan atas tuntutan agama Rasulullah”.
6. Jika mayat telah selesai dikuburkan, maka disunatkan menyirami kubur itu dengan air. [12]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam shalat Jum’at yang diwajibkan atas orang muslim laki-laki, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, syarat-syarat shalat Jum’at, terutama syarat-syarat Jum’at. Syarat-syarat shalat Jum’at yaitu : diadakan dilingkungan bangunan tempat tinggal tetap (wathan), dilakukan dengan berjama’ah tidak boleh kurang dari 40 orang, dilakukan pada waktu Zhuhur, dan dua khutbah sebelum shalat. Sedang sunat shalat Jum’at adalah : mandi, membersihkan tubuh dari segala bau yang tidak enak, memotong kuku dan kumis, memakai pakaian yang terbaik (terutama yang putih), memakai wangi-wangian, dan berdiam diri sambil mendengarkan khutbah.
Penyelenggaran jenazah ada 4 kewajiban yang harus kita penuhi, yaitu : memandikannya, mengkafaninya, menshalatkannya, menguburkannya. Dalam memandikan jenazah ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu: syarat-syarat jenazah yang wajib dimandikan, tata cara memandikan jenazah dan jenazah yang haram dimandikan. Termasuk juga dalam hal mengkafaninya yang harus diperhatikan adalah tata cara mengkafaninya. Menshalatkan jenazah ada beberapa hal yang juga perlu diperhatikan yaitu: syarat-syarat shalat jenazah, rukun shalat jenazah dan tata caranya. Hal-hal yang perlu diperhatikan juga ada dalam menguburkan jenazah yaitu: pembuatan liang lahat, tata cara menurunkan dan membaringkang jenazah dalam liang lahat, dan waktu menguburkan jenazah.
DAFTAR PUSTAKA
Rifa’I, Muhammad. Fiqih Islam Lengkap, Semarang, PT. Karya Toha Putra, 1978.
Nasution, Lahmuddin, Fiqh 1, Jakarta, , 1995.
Rusyid, Ibnu, Bidjatul Mudjatahid Jilid III, Jakarta, Bulan Bintang, 1969.
Arsyad, Muhammad, Sabilal Muhtadin, Darul Fikr.
[1] Moh. Rifa’I, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1978), h.175
[2] Lahmuddin Nasution, Fiqh 1,, (Jakarta:, 1995), h.95
[3] Lahmuddin Nasution, Fiqh 1,, (Jakarta:, 1995), h.97
[4] Moh. Rifa’I, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1978), h.177
[5] Moh. Rifa’I, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1978), h. 185
[6] Ibnu Rusyid, Bidjatul Mudjatahid. Jilid III (Jakarta: Bulan Bintang, 1969) h. 185
[7] Ibnu Rusyid, Bidjatul Mudjatahid. Jilid III (Jakarta: Bulan Bintang, 1969) h. 186
[8] Ibnu Rusyid, Bidjatul Mudjatahid. Jilid III (Jakarta: Bulan Bintang, 1969) h. 188
[9] Moh. Rifa’I, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1978), h. 290
[10] Moh. Rifa’I, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1978), h. 313
[11] Muhammad Arsyad Al-Banjary, Sabilal Muhtadin, Darul Fikr, h. 77-78
[12] Moh. Rifa’I, Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1978), h.306